Pages

Kamis, 26 Juli 2012

Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan
Anwar Nasution, GURU BESAR FAKULTAS EKONOMI UI
SUMBER : KOMPAS, 8 Maret 2012



Setelah lama ditunggu dan dua tahun tertunda, akhirnya Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan disetujui oleh DPR. Kini, pemerintah tengah memilih komisionernya dan setelah itu diharapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa mulai beroperasi. Menurut Ayat (2) Pasal 34 UU BI Tahun 2004, OJK seharusnya berdiri selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Penyatuan semua lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan (BI dan Bapepam-LK) diharapkan dapat memberikan perlakuan sama bagi semua jenis industri keuangan dan semua bentuk hukum kepemilikannya (negara, koperasi, serta swasta nasional dan asing). Penyatuan itu sekaligus diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan mengatasi keterbatasan tenaga profesional serta memudahkan koordinasi antarlembaga yang selama ini berdiri sendiri.

Pendirian OJK bagian dari program IMF, 1997-2003, untuk meningkatkan standar acuan serta mutu pengaturan dan pemeriksaan serta pengawasan lembaga-lembaga keuangan, terutama industri perbankan, di Indonesia. Buruknya mutu pemeriksaan atas lembaga keuangan itu tecermin dari krisis keuangan 1997-1998 yang sangat mahal biayanya bagi perekonomian nasional. Pemeriksaan dan pengawasan lembaga keuangan tersebut tak mampu mendeteksi potensi krisis.

Setelah BLBI, terus terjadi krisis lanjutan, termasuk kasus Bank Bali (1998) dan Bank Century (2008). Keterkaitan kegiatan PT Antaboga Delta Sekuritas, PT Century Mega Investindo, dan PT Century Super Investindo dengan PT Bank Century yang tak terpantau Bapepam-LK dan BI menggambarkan kurangnya koordinasi dan pertukaran informasi antar-kedua lembaga pengawas. Ketiga perusahaan reksa dana dan sekuritas itu dimiliki pemilik Bank Century dan digunakan untuk merongrong bank ini. Belakangan terungkap, perusahaan itu tak punya surat izin operasi dari Bapepam-LK.

Pengalaman di sejumlah negara, integrasi seluruh lembaga pengatur dan pengawas lembaga keuangan perlu 3-5 tahun. Di Indonesia, integrasi BI dengan Bapepam-LK mungkin bisa lebih cepat karena dilihat dari nilai aktiva dan jumlah kantor cabang. Bank adalah inti industri keuangan Indonesia. Lembaga keuangan non-bank, seperti reksa dana, asuransi, dan dana pensiun, memang tumbuh dengan cepat dari tahap awal yang sangat rendah. Lembaga keuangan non-bank yang tumbuh pesat adalah perusahaan asing, seperti Schroders, Manulife, AIA, dan Allianz.

Pro-Kontra Penyatuan

Penyatuan lembaga-lembaga pemeriksa keuangan dalam satu badan mengandung lima manfaat dan sekaligus potensi permasalahannya. Manfaat pertama, efisiensi karena besarnya skala organisasi lembaga yang disatukan. Kedua, menekan biaya dengan memanfaatkan skala ekonomi. Ketiga, meningkatkan akuntabilitas. Keempat, meniadakan persaingan antarlembaga pemeriksa dan meniadakan duplikasi pekerjaan. Kelima, memudahkan kesamaan perlakuan dalam pengaturan dan pengawasan atas semua industri keuangan.

Di lain pihak ada potensi permasalahan penyatuan lembaga pemeriksa lembaga keuangan dalam satu badan. Pertama, jika tujuan pendirian tak jelas, lembaga yang menyatu ini kurang efektif dibandingkan dengan lembaga supervisi yang terpisah. Kedua, biayanya justru sangat mahal jika organisasi terlalu besar. Di Singapura, pengaturan dan pengawasan seluruh lembaga keuangan di tangan Monetary Authority of Singapore (MAS) yang didirikan 1984. Jumlah personel MAS jauh lebih sedikit dan struktur organisasi jauh lebih sederhana dibandingkan dengan kedua lembaga pengawas Indonesia itu. Padahal, jumlah lembaga keuangan di Singapura jauh lebih banyak dan kegiatan jauh lebih kompleks.

Potensi masalah ketiga, adanya aji mumpung (moral hazard) jika sasaran tak dikomunikasikan dengan jelas. Keempat, proses integrasi dapat memicu politisasi atau masuknya kepentingan tertentu dalam kerangka pengaturan dan pengawasan industri keuangan yang pada hakikatnya bersifat teknis. Politisasi semakin dimungkinkan jika sebagian komisioner OJK berasal dari kalangan anggota DPR yang tak menguasai masalah teknis. Potensi masalah kelima, kemungkinan kehilangan staf inti jika proses integrasi tak dapat dikendalikan dengan baik. Pemeriksa dan pengawas bank dari BI enggan pindah ke OJK karena masalah gaji, perumahan, dan manfaat lain lebih besar di BI daripada di instansi pemerintah lain.

Pola Inggris versus Amerika

Program IMF 1997-2003 mendesain OJK menurut model Financial Services Authority (FSA) yang diintroduksi di Inggris 1997. FSA merupakan lembaga independen yang terpisah dari bank sentral dan departemen keuangan. Setelah berpindahnya fungsi pengawasan dan pemeriksaan bank ke OJK, bank sentral dapat memusatkan perhatiannya pada pengaturan masalah moneter dan ekonomi makro. Bank sentral memeriksa bank hanya berkaitan dengan penggunaan kreditnya oleh bank penerima kredit.

Karena dua alasan, setelah krisis keuangan global 2008, muncul gagasan baru menyatukan pengawasan dan pemeriksaan semua lembaga keuangan di tangan bank sentral. Karena menimbulkan dampak besar, beberapa perusahaan non-keuangan yang merupakan nasabah besar lembaga-lembaga keuangan (seperti General Motors) tak luput dari pengawasan the Federal Reserve, bank sentral AS.

Alasan pertama, ternyata FSA Inggris pun tak dapat mendeteksi kondisi keuangan the Northen Rock, bank penyedia kredit perumahan skala kecil yang menempatkan dananya dalam porsi cukup besar di subprime mortgages yang menjadi masalah di AS. Pemerintah Inggris terpaksa mengambil alih saham bank itu untuk menyelamatkannya. Alasan kedua, dan terpenting, untuk memudahkan penyaluran dana dalam rangka lender of last resort dan quantitative easing guna mengatasi kekeringan likuiditas di pasar uang nasional dan internasional di tengah berlangsungnya krisis.

OJK diharapkan dapat menyiapkan industri perbankan nasional agar mampu jadi pelaku global. Untuk itu, OJK dapat membantu bank-bank negara (termasuk BPD) meningkatkan mutu personel, memodernisasi sistem dan mengubah cara kerja agar dapat menyamai Development Bank of Singapore. Kelompok bank negara tetap inti industri perbankan Indonesia.

Bank-bank swasta yang terafiliasi dengan kelompok konglomerasi usaha juga harus menaati aturan prudensial, termasuk batas minimum pemberian kredit (BMPK) dan posisi devisa neto (PDN), agar jangan memobilisasi dana hanya bagi keperluan pembiayaan modal anak-anak perusahaannya. Pelanggaran atas ketentuan BMPK dan PDN merupakan penyebab krisis 1997. Dari kasus Bank Century, aturan fit and proper test saja belum dapat mencegah kemungkinan masuknya elemen kriminal dalam industri perbankan. Walaupun bukan anggota Dewan Direksi Bank Century, Robert Tantular dapat mengendalikan operasi tersebut tanpa terpantau pengawas on-site dan off-site BI.

Pemeriksaan dan pengawasan bank tak penting selama Orde Baru. Kini, selain perlu memantau perubahan standar dan aturan prudensial yang berlaku secara internasional, OJK pun perlu ikut aktif membuat standar serta aturan itu melalui forum Basel dan G-20 agar sesuai dengan kondisi dan kepentingan nasional. KTT G-20 di Seoul, 11-12 November 2010, menerima Basel-3 sebagai inti kerangka pengaturan baru industri keuangan. Untuk membuat bank lebih kokoh, mampu menyerap kerugian, serta kian kuat menghadapi krisis, Basel-3 meningkatkan keperluan modal bank, memperketat standar pengertian modal, menertibkan transaksi derivatif, serta mengatur lebih ketat likuiditas perbankan dan sumber pembelanjaannya serta cara pemberian bonus ke karyawan bank ataupun cara penanganan bank bermasalah.

Basel-3 meningkatkan keperluan modal dasar bank menjadi 7 persen dari risiko tertimbang (RWA) mulai 2019. Bank yang masuk kategori systematically important financial institutions wajib menambah ekstra modal 1,0-2,5 persen dari RWA. Bank juga wajib menambah modal dalam transaksi derivatif. Sumber dana dan likuiditas perbankan diharapkan kian bergeser dari sumber dana jangka pendek dan kekayaan yang kurang likuid ke sumber dana jangka panjang dan lebih likuid. Penanganan bank bermasalah akan tetap mencari keseimbangan antara upaya melindungi deposan dan mengurangi beban pembayar pajak lewat anggaran negara. ●
Dan ironisme OJK : Gagal Di Negara Maju, Namun Diminati Indonesia
Dalam beberapa bulan terakhir ini, salah satu isu di bidang perbankan yang sering mendapat sorotan publik  ialah adalah mengenai transisi atas pembentukan serta pemilihan pimpinan dari “Otoritas Jasa Keuangan” atau sering disebut OJK. Tampak jelas bahwa sekumpulan elite nasional berebut kursi dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagaimana diketahui, OJK adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen dan mengawasi antara lain industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Tujuan dibentuknya OJK yaitu untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis, menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan, dan mencari efisiensi di sektor perbankan dan keuangan lainnya.
Namun demikian, perlu dipahami bahwa sesungguhnya pembentukan lembaga sejenis OJK ini sudah banyak dipraktekkan di Negara lain, dan berbagai studi dan riset perbandingan menunjukkan bahwa : pembentukan OJK tidak membawa dampak signifikan terhadap kehidupan perbankan dan keuangan. Mengapa Negara-negara yang telah membentuk OJK justru membubarkannya?
Untuk mengetahuinya, mari kita lihat efektivitas penerapan OJK atau FSA (Financial Supervisory Agency) di beberapa Negara di bawah ini:
Inggris    Jepang    Australia    Korea
- Efektivitas OJK di Inggris sangat kurang, oleh karena Inggris yang menjadi pionir pembentukan lembaga sejenis OJK justru mengalami kegagalan. Sebagaimana diketahui, pembentukan OJK di Inggris dilatarbelakangi oleh kasus jatuhnya beberapa bank, seperti Neal Banker dan Baring Bank sampai dengan penutupan 12 bank lain.
- Tepatnya pada 1 Juni 1998 dibentuklah OJK di Inggris yang dinamakan Financial Supervisory Agency (FSA). FSA ini kemudian mengemban tugas melaksanakan kegiatan pengawasan terhadap lembaga keuangan, termasuk perbankan.
- Kasus Northern Rock Bank pada September 2008 menjadi bom waktu yang menjadi bukti kegagalan FSA di negara ini. Perlu diketahui bahwa kejatuhan Northern Rock Bank kemudian diikuti intitusi keuangan lain, seperti Bradford Bingley dan Royal Bank of Scotland Lloyds.
(Saat ini FSA telah dibubarkan. Fungsi pengawasan bank akhirnya dikembalikan lagi ke Bank of England.)    - Di Jepang,  pengalihan fungsi pengawasan kepada The Financial Supervision Agency (FSA) telah dilakukan sejak 22 Juni 1998. Sementara, Bank of Japan (BOJ) hanya menangani kebijakan, perumusan sistem moneter, dan implementasinya.
-Untuk mengetahui kondisi perbankan secara akurat dan cepat, BOJ melakukan on site examination dengan pendekatan risk based supervision terhadap lembaga keuangan dan perbankan di negara itu. Berbagai informasi tentang kondisi keuangan lembaga keuangan yang diperoleh BOJ tersebut sangat bermanfaat bagi BOJ, baik dalam hal menjaga stabilitas payment dan financial settlement system di Jepang maupun dalam hal perumusan kebijakan moneter.
-Hingga saat ini, kinerja FSA di Jepang belum efektif, dibuktikan karena hingga saat ini masih dihantui resiko sistemik yang tinggi, dan penerapan prinsip prudensial yang belum ketat.    -Seperti Inggris, Negara ini memiliki Australian Prudential Regulation Authority (APRA) sejak 1 Juli 1998.
-Tahun 2001, tiga tahun setelah APRA berdiri, konglomerat asuransi terbesar kedua di Australia (yaitu grup HIH) bangkrut karena mismanajemen keuangan.
- APRA kemudian mengakui kegagalannya dalam mendeteksi dan mencegah kebangkrutan tersebut tidak lepas dari minimnya waktu untuk menuntaskan transfer di atas, termasuk penyempurnaan sistem pengawasannya.    -Di Korea, Financial Supervisory Service (FSS) dipimpin oleh seorang Gubernur, yang juga merangkap Gubernur Komisi Jasa Keuangan bertanggung jawab kepada pemerintah.
-Tatanan seperti ini ternyata banyak menimbulkan banyak persoalan independensi dan kerancuan koordinasi dengan otoritas moneter.
Melihat dari beberapa kenyataan yang terjadi di berbagai negara di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan lembaga sejenis OJK tidak sepenuhnya efektif, malahan selalu bermasalah dalam hal independensi dan koordinasi selama tidak ada Good Corporate Governance dalam dunia keuangan dan perbankan. Terdapat empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep  Good Corporate Governance, yaitu  fairness,  transparency,  accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip  Good Corporate Governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Dari berbagai hasil penelitian lembaga independen menunjukkan bahwa pelaksanan Corporate Governance di Indonesia masih sangat rendah.
Melihat dari berbagai konflik yang mungkin akan timbul nantinya, melihat kenyataan kondisi politik dan ekonomi di Indonesia, serta setelah melihat bahwa dibeberapa negara lain penerapan OJK/FSA kurang efektif, maka ada baiknya jika pembentukan OJK dikaji ulang, karena menurut saya : “fungsi pengawasan itu bukan terletak dari dibentuknya lembaga baru atau tidak. Tapi dari ada atau tidaknya penerapan good corporate governance.”
Meskipun ada OJK, ketika elit politik masih rakus, maka kejadian Century masih dapat berulang..

http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/04/18/ironisme-ojk-gagal-di-negara-maju-namun-diminati-indonesia/
http://budisansblog.blogspot.com/2012/03/otoritas-jasa-keuangan.html

0 komentar:

Posting Komentar